Tahukah kamu bahwa otak manusia dikatakan dapat mengingat hingga 90% dari apa yang dilakukan, tetapi hanya sebagian kecil dari apa yang didengar? Pernyataan ini sering muncul di dunia pendidikan, pelatihan, hingga dunia kerja — terutama ketika membahas metode belajar berbasis pengalaman (experiential learning).

Namun, apakah klaim tersebut benar secara ilmiah? Mari kita telusuri fakta, mitos, dan temuan penelitian terkini tentang bagaimana otak manusia sebenarnya bekerja dalam menyimpan ingatan.

Pernyataan ini berasal dari apa yang dikenal sebagai “Piramida Pembelajaran” (Learning Pyramid) atau “Cone of Experience”, yang menyebutkan bahwa:

  • Kita mengingat 10% dari yang dibaca,
  • 20% dari yang didengar,
  • 50% dari yang dilihat dan didengar,
  • dan hingga 90% dari yang dilakukan.

Namun menurut penelitian dari Will Thalheimer (2018) dalam artikel “Debunk This: People Remember 10 Percent of What They Read” di TD.org, angka-angka tersebut tidak pernah didukung oleh riset ilmiah.

Universitas Strathclyde di Skotlandia juga menegaskan hal serupa: model piramida ini lebih merupakan metafora pendidikan daripada hasil eksperimen terukur (strath.ac.uk).

Penelitian oleh Schneider et al. (2019) berjudul “How Much Is Remembered as a Function of Presentation Modality” menemukan bahwa tidak ada pola tetap dalam persentase daya ingat berdasarkan cara belajar (visual, audio, membaca, dsb.).
👉 Sumber: PubMed

Setiap individu memiliki cara belajar yang unik — tergantung pada konteks, pengalaman, dan tingkat keterlibatan dalam proses belajar.

Konsep Forgetting Curve yang diperkenalkan oleh Hermann Ebbinghaus (1885) menunjukkan bahwa manusia cenderung melupakan sebagian besar informasi baru dalam waktu singkat jika tidak diulang.

Menurut The Learning Guild:

  • Setelah 1 jam, kita bisa lupa hingga 50% informasi baru.
  • Setelah 24 jam, hingga 70% hilang.
  • Setelah seminggu, bisa mencapai 90% hilang jika tidak diperkuat.
    👉 Sumber: learningguild.com

Artinya, bukan “apa yang dilakukan” yang otomatis diingat 90%, tetapi pengalaman yang melibatkan emosi, aksi, dan refleksi jauh lebih mudah diingat daripada sekadar mendengar.

Model Experiential Learning dari David A. Kolb (1984) menjelaskan bahwa belajar paling efektif terjadi melalui siklus empat tahap:

  1. Concrete Experience – mengalami secara langsung
  2. Reflective Observation – merefleksikan pengalaman
  3. Abstract Conceptualization – memahami konsep dari pengalaman
  4. Active Experimentation – mencoba menerapkan kembali

Inilah mengapa pendekatan belajar berbasis pengalaman seperti simulasi, outbound training, team building, dan pembelajaran berbasis tantangan menjadi sangat efektif.

Metode seperti yang diterapkan oleh Impessa Experience berfokus pada aktivitas langsung yang melibatkan peserta untuk berpikir, berinteraksi, dan belajar dari tindakan nyata — bukan hanya teori.

Ada beberapa alasan psikologis dan neurologis mengapa pengalaman langsung membuat memori lebih kuat:

  1. Aktivasi multi-indra: ketika kita melakukan sesuatu, lebih banyak area otak aktif (visual, kinestetik, emosional).
  2. Keterlibatan emosi: pengalaman yang menimbulkan emosi positif/negatif lebih mudah diingat.
  3. Refleksi dan makna: otak mengingat hal yang berarti, bukan sekadar informasi pasif.
  4. Koneksi sosial: pembelajaran dalam kelompok atau interaksi meningkatkan retensi memori jangka panjang.

Dengan kata lain, keterlibatan aktif (doing) menstimulasi otak untuk menyimpan informasi secara lebih mendalam dan tahan lama.

Berikut beberapa cara efektif untuk meningkatkan daya ingat berdasarkan prinsip experiential learning dan riset neuroscience:

  • 🔁 Gunakan metode pengulangan bertahap (spaced repetition)
  • 💬 Libatkan peserta dalam diskusi dan refleksi
  • 🧩 Gunakan simulasi dan permainan edukatif (learning games)
  • 🧠 Gunakan analogi dan pengalaman nyata
  • ✍️ Dorong peserta untuk mengajarkan kembali materi yang mereka pelajari

Inilah prinsip yang menjadi dasar berbagai program pelatihan berbasis pengalaman yang dirancang oleh Impessa Experience.

Klaim bahwa “otak manusia mengingat hingga 90% dari apa yang dilakukan” bukanlah fakta ilmiah mutlak, melainkan representasi populer dari konsep belajar lewat pengalaman (learning by doing).

Walau angka “90%” tidak dapat dibuktikan secara ilmiah, pesan dasarnya benar:

Kita lebih mudah mengingat dan memahami hal yang kita alami dan lakukan sendiri, dibandingkan hanya mendengarkan atau membaca.

Karena itu, pendekatan experiential learning terbukti lebih efektif dalam menciptakan perubahan perilaku, peningkatan kompetensi, dan pembelajaran jangka panjang — sesuatu yang menjadi fondasi utama dari setiap program di Impessa Experience.